Cari Postingan Gue?

Senin, 12 Agustus 2013

Hati yang Tersesat

Ada dua hal yang selama ini aku yakini di dunia. Pertama, tuhan itu ada. Kedua, setiap zat di dunia memiliki rumahnya masing-masing. Salah satunya adalah hati. Hati mempunyai rumah untuk kembali. Setidaknya itu adalah hal yang kami yakini. Hatiku selalu menjadi rumah bagi hati Malik. Begitu pun dengan hatinya. Hal ini kami yakini setelah beberapa kali kami putus. Termasuk kali ini. Kali ini aku dan Malik kembali memutuskan tali hubungan kami.
Namun, ada hal yang mengganjal hatiku saat ini. Membuatku tidak yakin bahwa hati ini akan kembali ke rumahnya. Teringat beberapa waktu lalu pihak sekolah memanggil orangtuaku karena anjloknya nilai-nilaiku. Aku tahu hal ini terjadi karena diriku yang tidak bisa membagi waktu. Terlalu banyak waktu yang kuberikan untuk Malik. Ntah sebanyak apa, yang jelas sangat banyak.
----
Kulihat ponselku yang terus mengedipkan led berwarna merah. Led itu terus mengedip, sepertinya ponselku ini minta segera ku sentuh untuk mengetahui siapa yang menghubungiku. Namun tanpa menyentuhnya pun aku sudah tahu siapa yang menghubungiku. Orang yang selalu mengisi waktuku. Orang yang selalu dapat membuatku diam berjam-jam di depan ponselku hanya untuk berhubungan dengannya.
‘Malik!’ kulihat tulisan itu di layar ponselku. Benar seperti dugaanku. Pasti dia. Pasti MAlik yang menghubungiku. Segera ku buka pesan dari dirinya dengan riang.
“Hey Kena”
Dengan secepat mungkin aku membalas pesan itu. Namun jariku terdiam sejenak. Pikiranku berkata ‘Hentikan. Tidak kah kamu ingat apa yang akan terjadi jika kalian kembali? Bagaimana dengan nilaimu? Orangtuamu?’ sial. Pikiran itu datang kembali. Tiba-tiba saja jariku meralat balasan pesannya.
“Ya?”
 “Bisakah kau tidak bersikap begitu dingin kepadaku? Aku tidak suka”
“Bisakah kau berhenti menghubungiku?”
“Kenapa? Hey tidak biasanya kau seperti ini. Apakah kita bisa kembali?”
“Ntah lah. Maaf tapi kau bukan tipeku”
Bodoh. Bodoh. Mengapa aku membalasnya dengan sekejam itu? Aku tahu lelaki ini tidak akan berhenti jika tidak ku geretak. Tapi, haruskah aku sekejam ini? Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Maafkan aku Malik.
----
Selama beberapa hari setelah percakapanku dengan Malik, aku terus memikirkannya. Aku tidak bisa membayangkan perasaannya setelah aku berkata sekejam itu. Aku tidak bisa membayangkan hatinya yang dihancurkan oleh gadis yang ia cintai dengan tulus.
Kuaraih ponselku di ujung meja. Aku hanya ingin tahu kabarnya. Aku ingin tahu. Aku segera mengecek akun twitternya. Apa yang sudah terjadi beberapa hari kebelakangan ini ya?
Dira? Siapa gadis ini? Mengapa dia mengucapkan ucapan selamat pagi kepada Malik? Mengapa dia mengucapkan ucapan yang hanya terlontar dari mulutku untuk Malik?
Kepalaku pusing. Kepalaku berat karena dihujani beribu-ribu pertanyaan tentang gadis itu dan… Malik. Dadaku sesak. Sangat sesak, aku dapat merasakan udara yang mendobrak masuk kesulitan ke dalam rongga dadaku. Malik… secepat itu kah?
----
Semua yang kubaca beberapa hari yang lalu pada akun twitter Malik terasa seperti mimpi. Ucapan selamat pagi. Ucapan selamat malam. Bahkan kalimat ‘jangan lupa untuk menjemputku besok pagi’ kepada Malik dari gadis itu hanya seperti mimpi. Semuanya terasa seperti mimpi karena tiba-tiba saja aku melihat pesan di ponselku. Pesan dari lelaki yang amat aku sayangi. Pesan dari lelaki yang membuat dadaku sangat sesak beberapa hari kebelakangan ini. Malik.
Dia menceritakan banyak hal. Termasuk Dira. Dadaku kembali terasa sesak  saat membaca cerita Malik tentang gadis itu. Namun sesaat kemudian aku merasakan sedikit udara dapat masuk ke dalam rongga dadaku. Ntah apa yang membuat Malik berkata seperti ini, yang jelas dia bilang bahwa sejak hari dimana dia menjemput Dira, dia jadi tidak menyukai Dira. Mendengar itu hatiku lega. Aku dapat merasakan udara yang keluar dari mulutku bertanda lega.
----
Cuaca kota Jakarta hari ini sangat tidak bersahabat. Aku tahu kota ini selalu terasa panas. Tapi ntah mengapa hari ini terasa sangat panas. Belum lagi macetnya yang membuat hari ini terasa panjang. Membuat aku terus mengeluh di dalam angkutan kota ini. Beberapa kali tanganku menyeka keringat yang terus-menerus menuruni pelipisku. Kulihat tempat tujuanku dari kejauhan. Ya, sebentar lagi aku akan turun dan segera merasakan dinginnya pendingin ruangan di dalam toko boneka itu dan segera membeli boneka. Boneka untuk adik Malik, karena aku akan menjenguknya hari ini.
Beberapa rak besar terjajar rapi di depan pandanganku. Boneka besar. Boneka kecil. Boneka beruang. Boneka anjing. Semua ini mengingatkanku pada bulan November tahun lalu. Di tempat yang sama, aku berada di sini bersama Malik. Saat itu dia menemaniku membeli kado untuk adikku. Sedangkan sekarang, di tempat yang sama aku sendiri. Tidak masalah. Aku harus segera mencari boneka yang cocok. Aku melihat kesekeliling, mataku tertangkap pada suatu boneka beruang. Boneka beruang dengan baju biru penuh renda. Matanya bulat mengkilap. Dengan cepat aku pergi ke kasir untuk membayar. Tiba-tiba kakiku membeku. Aku menjadi takut untuk menjenguk adik Malik sendirian. Apa yang harus aku lakukan tanpa Malik? Aku takut.
Dengan ragu aku mengambil ponselku dan mencari nama Malik di daftar kontak. Sambil menggigit bibir, aku menekan tombol hijau. Nut nut nut. Telfon telah tersambung. Hatiku berdebar. Aku takut mendengar suaranya. Suara yang sudah beberapa minggu ini tidak aku dengar. Apakah masih sama seperti suara yang selalu aku dengar pada 2 tahun ini?
“Halo?” suaranya seperti orang bingung dan agak panik. Aku tidak tahu apa yang membuatnya panik tapi aku senang dapat mendengar suaranya.
Umm Malik. Aku… aku ingin bertemu denganmu sekarang. Bisa?”
“Sekarang? Aku tidak bisa. Aku.. aku sedang di warung game” ucapnya dengan suara yang masih terdengar sama.
Ntah apa yang ada di benakku. Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal membuat hati ini tidak yakin akan perkataannya.
“Benarkah? Kok aku tidak yakin” kataku sambil melihat antrian panjang di depan meja kasir.
“Ah tidak. Tidak. Aku baru saja mau pergi. Aku mau pergi dengan nenekku” katanya membalas ketidak yakinanku. Suara itu terdengar semakin panik. Aku yakin ada yang dia tutupi.
“Aku tahu kau sedang berbohong Malik. Katakan padaku, dimana kau sekarang?” paksaku sambil mengantri di belakang lelaki bertubuh besar.
“Aku… Oke Oke” tiba-tiba saja suaranya terputus oleh hembusan nafasnya
“Aku sedang berada di rumah Dira. Bisakah kau.. berhenti menghubungiku dulu?”
Deg. Lagi-lagi rasa itu muncul. Rasa sakit ini. Dadaku sakit. Rasa sesak ini sungguh menyakitkan. Kali ini terasa seribu kali lebih sakit dari sebelumnya. Tanpa kuperintah, tiba-tiba saja jariku sudah menekan tombol merah. Telfon itu terputus. Mataku sangat panas, beberapa bulir air mata terjatuh dari kedua mataku secara tiba-tiba. Aku tidak bisa menahan air mata ini untuk tidak terus-menerus berjatuhan. Ini terlalu sakit. Tanganku berusaha untuk menyeka air mataku sebisa mungkin. Dengan bersusah payah aku berusaha untuk membungkam mulutku untuk tidak terisak. Lelaki bertubuh besar di depanku melirikku sejenak, aku dapat melihat matanya yang panik. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Bodoh. Bodoh. Apakah kau tidak bisa berhenti menangis? Apa kau tidak malu dengan semua mata yang tertuju padamu itu? Aku melangkahkan kakiku yang terasa sangat berat. Aku berlalri ke meja kasir yang terletak di lantai 1 dengan harapan tidak ada beberapa mata yang menyadari bahwa aku baru saja menangis di sebuah antrian kasir. Ini memalukan
----
Ku genggam boneka yang sudah terbungkus cantik di balik kertas kado berwarna pink. Tanpa sadar aku sudah melangkahkan kakiku ke rumah sakit tempat adik Malik menjalankan operasi. Mataku sembab. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Namun samar-samar aku dapat melihat rumah sakit itu. Aku berjalan kearah kursi yang berada di lorong unit gawat darurat. Dengan memberanikan diri, aku kembali menelfon Malik.
“Ya? Halo?” kudengar suara dari ponsel Malik. Aku sangat yakin nomor yang baru aku telfon ini milik Malik. Aku sangat yakin walau mataku sembab, aku dapat membacanya dengan jelas. Aku yakin, tapi suara siapa ini? Mengapa bukan suara Malik? Mengapa bukan suara yang selama ini memanggil namaku dengan lembut?
“Malik? Siapa disana?”
“Ini Dira. Oh Malik, dia sedang ada di kamar mandi. Mungkin kau bisa menghubunginya beberapa menit lagi”
Mendengar namanya membuat mataku semakin panas. Aku dapat merasakan beberapa bulir air mata yang kembali turun dari kedua mataku.
“Bisakah kau memberitahunya bahwa aku sudah berada di rumah sakit? Ada yang ini aku berikan kepadanya”
“Oke!” katanya dengan nada yang menjijikan. Nada menggoda yang menjijikan. Aku tidak tahu apa maksudnya. Lalu telfon pun terputus.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak terbiasa sendiri dengan kondisi yang seperti ini. Biasanya aku langsung menelfon Malik untuk menjemputku. Namun sekarang? Dia sedang bersama gadis lain. Aku kembali terisak. Aku tidak mau sendirian pada kondisi seperti ini. Aku tidak mau. Nadia- hanya nama ini yang terlintas di kepalaku. Akhirnya aku memintanya datang lalu dengan cepat dia menyusulku.
Aku dapat melihat orang yang sangat aku kenal. Gadis yang sudah aku kenal selama 4 tahun ini. Nadia, dengan panik dia berlari ke arahku sembari bertanya tentang apa yang terjadi. Aku menghujaninya dengan ceritaku dengan penuh emosi dan air mata yang terus mengalir deras. Berkali-kali dia berkata seolah tidak percaya. Nadia dan aku terlah mengenal Malik selama 4 tahun, kami berteman sejak lama. Nadia sangat tahu bahwa Malik lelaki yang sangat baik, tidak mungkin dia tega melakukan ini kepadaku.
Nadia menyuruhku menghubungi Malik untuk menanyakan posisinya, tapi hal itu tidak berguna. Hal itu hanya memperburuk keadaaan. Suara menjijikan itu lagi. Lagi-lagi telingaku harus mendengar suara gadis penggoda itu. Dia memberitahukan bahwa dia dan Malik sedang berada di perjalan ke rumah sakit.
----
Jaket ini, aku sangat mengenalnya. Jaket yang biasanya ku pakai jika aku lupa membawa jaket saat udara dingin. Gerak-gerik ini. Gerak-gerik yang tidak bosan-bosannya aku lihat. Aroma yang khas,aroma yang selalu membuatku candu akan kehadirannya. Dia ada disini. Malik ada dihadapanku.
Aku sedikit lega karena dia tidak mebawa gadis penggoda itu, tapi melihat Malik membuat emosiku meluap tidak beraturan. Air mataku mengalir deras bersama kata-kataku yang berkali-kali keluar untuk mengeluarkan emosiku. Dia hanya terdiam melihatku menangis. Bahkan tangan yang biasanya dapat memelukku dalam tangisanku itu hanya membeku dibalik kantung jaketnya. Nadia yang dari tadi hanya terdiam melihatku menangis, mulai gatal dengan Malik yang tidak bereaksi. Nadia mulai memaksanya untuk mengeluarkan beberapa kata. Aku sadar tangisanku sangat mengganggu orang-orang di sekitarku. Aku sadar itu, tapi aku sama sekali tidak mempedulikan semua mata yang lagi-lagi manatap tajam kepadaku. Semua perhatianku hanya tertuju kepada Malik.
Tiba-tiba saja suara Malik memecahkan isak tangisku. Dengan nada yang terdengar dingin dia bersuara.
“Maaf tapi aku memilih Dira”
Kata-kata itu tidak dapat memperbaiki suasana yang sudah sangat buruk. Untuk kali ini aku hanya berharap dia lenyap dari hadapanku. Semesta, tolong lenyapkan dia sekarang juga
Aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap tenang. Tanganku menyeka air mataku. Aku mulai berbicara dengan tenang.
“Bisakah kau memberikan ini kepada adikmu? Kataku sambil memberikan bingkisan cantik itu.
Dia menerimanya. Aku dapat melihat wajahnya yang bingung. Mungkin dia bingung denganku yang tidak merespon kalimat terakhirnya. Seolah-olah aku tidak mendengar apa yang baru saja dia katakan.
“Maksudku.. apakah kau pikir aku dapat kembali kepadamu setelah kau berkata bahwa aku bukan tipemu?” tambahnya seolah memintaku untuk memberikan respon kepadanya.
Deg. Rasa itu datang lagi. Cukup. Aku lelah. Aku sadar apa yang aku katakan beberapa hari yang lalu itu berakibat fatal. Aku gagal. Aku tidak dapat mengharapkan hati itu pulang lagi ke rumahnya. Tidak akan bisa.
“Aku mengerti. Sebaiknya kau kembali ke kamar adikmu dan segera menjemput Dira”
Seolah-olah dia mengerti maksudku. Sepertinya dia mengerti bahwa aku tidak mau melihatnya saat ini. Dia pergi sembari membawa bingkisan itu.
Aku melihat sosok yang lama-kelamaan semakin tidak terlihat. Sosok yang selalu aku rindukan itu perlahan-lahan tidak tertangkap oleh mataku lagi. Sosok itu hilang bersama hatinya. Hatinya yang tidak akan kembali. Hati itu tidak akan pulang ke rumahnya. Mungkin hati itu tidak akan menemukan jalan pulangnya lagi. Hati itu telah tersesat.

----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar