Ada dua hal yang selama ini aku yakini di
dunia. Pertama, tuhan itu ada. Kedua, setiap zat di dunia memiliki rumahnya
masing-masing. Salah satunya adalah hati. Hati mempunyai rumah untuk kembali.
Setidaknya itu adalah hal yang kami yakini. Hatiku selalu menjadi rumah bagi
hati Malik. Begitu pun dengan hatinya. Hal ini kami yakini setelah beberapa
kali kami putus. Termasuk kali ini. Kali ini aku dan Malik kembali memutuskan
tali hubungan kami.
Namun, ada hal yang mengganjal hatiku saat
ini. Membuatku tidak yakin bahwa hati ini akan kembali ke rumahnya. Teringat
beberapa waktu lalu pihak sekolah memanggil orangtuaku karena anjloknya
nilai-nilaiku. Aku tahu hal ini terjadi karena diriku yang tidak bisa membagi
waktu. Terlalu banyak waktu yang kuberikan untuk Malik. Ntah sebanyak apa, yang
jelas sangat banyak.
----
Kulihat ponselku yang terus mengedipkan led
berwarna merah. Led itu terus mengedip, sepertinya ponselku ini minta segera ku
sentuh untuk mengetahui siapa yang menghubungiku. Namun tanpa menyentuhnya pun
aku sudah tahu siapa yang menghubungiku. Orang yang selalu mengisi waktuku.
Orang yang selalu dapat membuatku diam berjam-jam di depan ponselku hanya untuk
berhubungan dengannya.
‘Malik!’ kulihat tulisan itu di layar ponselku. Benar
seperti dugaanku. Pasti dia. Pasti MAlik yang menghubungiku. Segera ku buka
pesan dari dirinya dengan riang.
“Hey Kena”
Dengan secepat mungkin aku membalas pesan itu.
Namun jariku terdiam sejenak. Pikiranku berkata ‘Hentikan. Tidak kah kamu ingat apa yang akan terjadi jika kalian
kembali? Bagaimana dengan nilaimu? Orangtuamu?’ sial. Pikiran itu datang
kembali. Tiba-tiba saja jariku meralat balasan pesannya.
“Ya?”
“Bisakah kau tidak bersikap begitu dingin
kepadaku? Aku tidak suka”
“Bisakah kau
berhenti menghubungiku?”
“Kenapa? Hey
tidak biasanya kau seperti ini. Apakah kita bisa kembali?”
“Ntah lah.
Maaf tapi kau bukan tipeku”
Bodoh. Bodoh. Mengapa aku membalasnya dengan sekejam itu?
Aku tahu lelaki ini tidak akan berhenti jika tidak ku geretak. Tapi, haruskah
aku sekejam ini? Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja aku
katakan. Maafkan aku Malik.
----
Selama beberapa hari setelah percakapanku
dengan Malik, aku terus memikirkannya. Aku tidak bisa membayangkan perasaannya
setelah aku berkata sekejam itu. Aku tidak bisa membayangkan hatinya yang dihancurkan
oleh gadis yang ia cintai dengan tulus.
Kuaraih ponselku di ujung meja. Aku hanya
ingin tahu kabarnya. Aku ingin tahu. Aku segera mengecek akun twitternya. Apa
yang sudah terjadi beberapa hari kebelakangan ini ya?
Dira? Siapa gadis ini? Mengapa dia mengucapkan
ucapan selamat pagi kepada Malik? Mengapa dia mengucapkan ucapan yang hanya
terlontar dari mulutku untuk Malik?
Kepalaku pusing. Kepalaku berat karena
dihujani beribu-ribu pertanyaan tentang gadis itu dan… Malik. Dadaku sesak.
Sangat sesak, aku dapat merasakan udara yang mendobrak masuk kesulitan ke dalam
rongga dadaku. Malik… secepat itu kah?
----
Semua yang kubaca beberapa hari yang lalu pada
akun twitter Malik terasa seperti mimpi. Ucapan selamat pagi. Ucapan selamat
malam. Bahkan kalimat ‘jangan lupa untuk
menjemputku besok pagi’ kepada Malik dari gadis itu hanya seperti mimpi.
Semuanya terasa seperti mimpi karena tiba-tiba saja aku melihat pesan di
ponselku. Pesan dari lelaki yang amat aku sayangi. Pesan dari lelaki yang
membuat dadaku sangat sesak beberapa hari kebelakangan ini. Malik.
Dia menceritakan banyak hal. Termasuk Dira.
Dadaku kembali terasa sesak saat membaca
cerita Malik tentang gadis itu. Namun sesaat kemudian aku merasakan sedikit
udara dapat masuk ke dalam rongga dadaku. Ntah apa yang membuat Malik berkata
seperti ini, yang jelas dia bilang bahwa sejak hari dimana dia menjemput Dira,
dia jadi tidak menyukai Dira. Mendengar itu hatiku lega. Aku dapat merasakan
udara yang keluar dari mulutku bertanda lega.
----
Cuaca kota Jakarta hari ini sangat tidak
bersahabat. Aku tahu kota ini selalu terasa panas. Tapi ntah mengapa hari ini
terasa sangat panas. Belum lagi macetnya yang membuat hari ini terasa panjang.
Membuat aku terus mengeluh di dalam angkutan kota ini. Beberapa kali tanganku
menyeka keringat yang terus-menerus menuruni pelipisku. Kulihat tempat tujuanku
dari kejauhan. Ya, sebentar lagi aku akan turun dan segera merasakan dinginnya
pendingin ruangan di dalam toko boneka itu dan segera membeli boneka. Boneka untuk
adik Malik, karena aku akan menjenguknya hari ini.
Beberapa rak besar terjajar rapi di depan
pandanganku. Boneka besar. Boneka kecil. Boneka beruang. Boneka anjing. Semua
ini mengingatkanku pada bulan November tahun lalu. Di tempat yang sama, aku
berada di sini bersama Malik. Saat itu dia menemaniku membeli kado untuk
adikku. Sedangkan sekarang, di tempat yang sama aku sendiri. Tidak masalah. Aku
harus segera mencari boneka yang cocok. Aku melihat kesekeliling, mataku
tertangkap pada suatu boneka beruang. Boneka beruang dengan baju biru penuh
renda. Matanya bulat mengkilap. Dengan cepat aku pergi ke kasir untuk membayar.
Tiba-tiba kakiku membeku. Aku menjadi takut untuk menjenguk adik Malik
sendirian. Apa yang harus aku lakukan tanpa Malik? Aku takut.
Dengan ragu aku mengambil ponselku dan mencari
nama Malik di daftar kontak. Sambil menggigit bibir, aku menekan tombol hijau. Nut nut nut. Telfon telah tersambung.
Hatiku berdebar. Aku takut mendengar suaranya. Suara yang sudah beberapa minggu
ini tidak aku dengar. Apakah masih sama seperti suara yang selalu aku dengar
pada 2 tahun ini?
“Halo?” suaranya
seperti orang bingung dan agak panik. Aku tidak tahu apa yang membuatnya panik
tapi aku senang dapat mendengar suaranya.
“Umm Malik. Aku… aku ingin bertemu denganmu
sekarang. Bisa?”
“Sekarang? Aku tidak bisa. Aku.. aku sedang di
warung game” ucapnya dengan suara yang masih terdengar sama.
Ntah apa yang ada di benakku. Tiba-tiba saja
perasaanku tidak enak. Ada sesuatu yang mengganjal membuat hati ini tidak yakin
akan perkataannya.
“Benarkah? Kok aku tidak yakin” kataku sambil
melihat antrian panjang di depan meja kasir.
“Ah tidak. Tidak. Aku baru saja mau
pergi. Aku mau pergi dengan nenekku” katanya membalas ketidak yakinanku. Suara itu
terdengar semakin panik. Aku yakin ada yang dia tutupi.
“Aku tahu kau sedang berbohong Malik. Katakan
padaku, dimana kau sekarang?” paksaku sambil mengantri di belakang lelaki
bertubuh besar.
“Aku… Oke Oke” tiba-tiba saja suaranya
terputus oleh hembusan nafasnya
“Aku sedang berada di rumah Dira. Bisakah
kau.. berhenti menghubungiku dulu?”
Deg. Lagi-lagi rasa itu muncul. Rasa sakit ini.
Dadaku sakit. Rasa sesak ini sungguh menyakitkan. Kali ini terasa seribu kali
lebih sakit dari sebelumnya. Tanpa kuperintah, tiba-tiba saja jariku sudah
menekan tombol merah. Telfon itu terputus. Mataku sangat panas, beberapa bulir
air mata terjatuh dari kedua mataku secara tiba-tiba. Aku tidak bisa menahan
air mata ini untuk tidak terus-menerus berjatuhan. Ini terlalu sakit. Tanganku
berusaha untuk menyeka air mataku sebisa mungkin. Dengan bersusah payah aku
berusaha untuk membungkam mulutku untuk tidak terisak. Lelaki bertubuh besar di
depanku melirikku sejenak, aku dapat melihat matanya yang panik. Aku tidak tahu
harus berbuat apa.
Bodoh.
Bodoh. Apakah kau tidak bisa berhenti menangis? Apa kau tidak malu dengan semua
mata yang tertuju padamu itu? Aku
melangkahkan kakiku yang terasa sangat berat. Aku berlalri ke meja kasir yang
terletak di lantai 1 dengan harapan tidak ada beberapa mata yang menyadari
bahwa aku baru saja menangis di sebuah antrian kasir. Ini memalukan
----
Ku genggam boneka yang sudah terbungkus cantik
di balik kertas kado berwarna pink. Tanpa sadar aku sudah melangkahkan kakiku
ke rumah sakit tempat adik Malik menjalankan operasi. Mataku sembab. Aku tidak
bisa melihat dengan jelas. Namun samar-samar aku dapat melihat rumah sakit itu.
Aku berjalan kearah kursi yang berada di lorong unit gawat darurat. Dengan
memberanikan diri, aku kembali menelfon Malik.
“Ya? Halo?” kudengar suara dari ponsel Malik.
Aku sangat yakin nomor yang baru aku telfon ini milik Malik. Aku sangat yakin
walau mataku sembab, aku dapat membacanya dengan jelas. Aku yakin, tapi suara
siapa ini? Mengapa bukan suara Malik? Mengapa bukan suara yang selama ini
memanggil namaku dengan lembut?
“Malik? Siapa disana?”
“Ini Dira. Oh Malik, dia sedang ada di kamar
mandi. Mungkin kau bisa menghubunginya beberapa menit lagi”
Mendengar namanya membuat mataku semakin
panas. Aku dapat merasakan beberapa bulir air mata yang kembali turun dari
kedua mataku.
“Bisakah kau memberitahunya bahwa aku sudah
berada di rumah sakit? Ada yang ini aku berikan kepadanya”
“Oke!” katanya dengan nada yang menjijikan.
Nada menggoda yang menjijikan. Aku tidak tahu apa maksudnya. Lalu telfon pun
terputus.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak
terbiasa sendiri dengan kondisi yang seperti ini. Biasanya aku langsung
menelfon Malik untuk menjemputku. Namun sekarang? Dia sedang bersama gadis
lain. Aku kembali terisak. Aku tidak mau sendirian pada kondisi seperti ini.
Aku tidak mau. Nadia- hanya nama ini yang terlintas di kepalaku. Akhirnya aku
memintanya datang lalu dengan cepat dia menyusulku.
Aku dapat melihat orang yang sangat aku kenal.
Gadis yang sudah aku kenal selama 4 tahun ini. Nadia, dengan panik dia berlari
ke arahku sembari bertanya tentang apa yang terjadi. Aku menghujaninya dengan
ceritaku dengan penuh emosi dan air mata yang terus mengalir deras.
Berkali-kali dia berkata seolah tidak percaya. Nadia dan aku terlah mengenal
Malik selama 4 tahun, kami berteman sejak lama. Nadia sangat tahu bahwa Malik
lelaki yang sangat baik, tidak mungkin dia tega melakukan ini kepadaku.
Nadia menyuruhku menghubungi Malik untuk
menanyakan posisinya, tapi hal itu tidak berguna. Hal itu hanya memperburuk
keadaaan. Suara menjijikan itu lagi. Lagi-lagi telingaku harus mendengar suara
gadis penggoda itu. Dia memberitahukan bahwa dia dan Malik sedang berada di
perjalan ke rumah sakit.
----
Jaket ini, aku sangat mengenalnya. Jaket yang
biasanya ku pakai jika aku lupa membawa jaket saat udara dingin. Gerak-gerik
ini. Gerak-gerik yang tidak bosan-bosannya aku lihat. Aroma yang khas,aroma
yang selalu membuatku candu akan kehadirannya. Dia ada disini. Malik ada
dihadapanku.
Aku sedikit lega karena dia tidak mebawa gadis
penggoda itu, tapi melihat Malik membuat emosiku meluap tidak beraturan. Air
mataku mengalir deras bersama kata-kataku yang berkali-kali keluar untuk
mengeluarkan emosiku. Dia hanya terdiam melihatku menangis. Bahkan tangan yang
biasanya dapat memelukku dalam tangisanku itu hanya membeku dibalik kantung
jaketnya. Nadia yang dari tadi hanya terdiam melihatku menangis, mulai gatal
dengan Malik yang tidak bereaksi. Nadia mulai memaksanya untuk mengeluarkan
beberapa kata. Aku sadar tangisanku sangat mengganggu orang-orang di sekitarku.
Aku sadar itu, tapi aku sama sekali tidak mempedulikan semua mata yang
lagi-lagi manatap tajam kepadaku. Semua perhatianku hanya tertuju kepada Malik.
Tiba-tiba saja suara Malik memecahkan isak
tangisku. Dengan nada yang terdengar dingin dia bersuara.
“Maaf tapi aku memilih Dira”
Kata-kata itu tidak dapat memperbaiki suasana
yang sudah sangat buruk. Untuk kali ini aku hanya berharap dia lenyap dari
hadapanku. Semesta, tolong lenyapkan dia
sekarang juga
Aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap
tenang. Tanganku menyeka air mataku. Aku mulai berbicara dengan tenang.
“Bisakah kau memberikan ini kepada adikmu?
Kataku sambil memberikan bingkisan cantik itu.
Dia menerimanya. Aku dapat melihat wajahnya
yang bingung. Mungkin dia bingung denganku yang tidak merespon kalimat
terakhirnya. Seolah-olah aku tidak mendengar apa yang baru saja dia katakan.
“Maksudku.. apakah kau pikir aku dapat kembali
kepadamu setelah kau berkata bahwa aku bukan tipemu?” tambahnya seolah
memintaku untuk memberikan respon kepadanya.
Deg. Rasa itu datang lagi. Cukup. Aku lelah. Aku
sadar apa yang aku katakan beberapa hari yang lalu itu berakibat fatal. Aku
gagal. Aku tidak dapat mengharapkan hati itu pulang lagi ke rumahnya. Tidak
akan bisa.
“Aku mengerti. Sebaiknya kau kembali ke kamar
adikmu dan segera menjemput Dira”
Seolah-olah dia mengerti maksudku. Sepertinya dia
mengerti bahwa aku tidak mau melihatnya saat ini. Dia pergi sembari membawa
bingkisan itu.
Aku melihat sosok yang lama-kelamaan semakin
tidak terlihat. Sosok yang selalu aku rindukan itu perlahan-lahan tidak
tertangkap oleh mataku lagi. Sosok itu hilang bersama hatinya. Hatinya yang
tidak akan kembali. Hati itu tidak akan pulang ke rumahnya. Mungkin hati itu
tidak akan menemukan jalan pulangnya lagi. Hati itu telah tersesat.
----